Oh. Manjanya Kakak-ku

Oh. Manjanya Kakak-ku

Oh. Manjanya Kakak-ku
Oh. Manjanya Kakak-ku

Cerita Seks
- Aku percepat sepeda motorku agar cepat sampai di rumah Kak Dwi. Sudah dua tahun aku tak bertemu dengannya, sejak aku ditempatkan di Sulawesi setelah aku menyelesaikan kuliahku. Rasa rinduku pada kakakku yang sangat manja kepadaku dan sangat memanjakanku tak kepalang. Walau dia sudah menikah dan sudah punya seorang anak, aku tetap merindukannya. Aku teringat semasa kami kecil, aku selalu menjadi ayah dan dia menjadi ibu dan kami bermain di samping rumah di bawah pohon manggis. Kami pun masuk ke pondok di pinggiran kali kecil, lalu kami membuka baju kami, mempraktekkan bagaimana tetangga kami bersetubuh yang kami intip. Oh... kenangan itu.

Bermain sampai kami lepas SD, kemudian kami masuk SMP. Usia kami terpaut hanya dua tahun. Kami pernah sama-sama di SD dan kami sama-sama di SMP, kemudian kami sama-sama di SMA, kemudian kami sama-sama kuliah dan saat kuliah, aku dan kakaku Dwi sama-sama diwisuda. Saat aku ke Sulawesi aku tak bisa menghadiri pernikahakannya. Dia adalah korban kawin paksa oleh ayah kami.

Begitu aku tiba di depan rumahnya, dia langsung menghambur dan memeluk diriku dan kami berpelukan. Kami ingat bagaimana kami sama-sama sekolah boncengan naik sepeda sampai tamat SMA dan kemudian sama-sama mahasiswa. Sejak SMP dan SMA kami sudah pacaran. Pacaran dimana kami saling berkirim surat. Aku menulis surat padanya, kemudian dia tulis surat padaku lalu diberikannya untuk aku baca. Setelah mahasiswa, kami membeli sebuah buku catatan harian dan kami isi bersama-sama. Aku menulis di buku itu kemudian kakakku akan membalasnya. Dalam keseharian kami, kami tidak pernah membicarakan tentang cinta kami. Kami hanya membicarakan tentang cinta kami di dalam buku catatan harian kami (Diary) saja.

Setiap akhir tahun, kami membuat acara pembakaran buku catatan harian kami. Terkadang kami melakukannya di gunung, karena kami sama-sama suka mendaki gunung, atau di puncak di sebuah hotel kecil. Kami sudah terlalu sering tidur bersama. Kami berciuman saling mengelus. Paling indah bagiku, saat pertama kali aku dibenarkan mengulum buah dadanya dan pertama kali dia mengulum penisku. Indah sekali.

Perbuatan itu tak sampai lebih dari sana. Aku harus taat pada perjanjian kami di buku diary. Kalau aku tak boleh merusak kegadisannya. Aku hanya diberikan kesempatan untuk melihatnya, kemudian diizinkan untuk mengelus rambut-rambut halus di vaginanya. Terakhir aku diizinkan mencium vaginanya. Saat aku meminta untuk menjilatnya, aku hanya diizinkan dengan pengawasannya yang ketat. Duh... aroma vagina Kak Dwi masih terngiang dalam kenanganku dan aku masih mampu merasakan aroma mesum vagina-nya. Apakah pertemuan kami kali ini, aku masih mendapatkan itu. Apakah aromanya tetap sama, setelah dia menikah dan sudah punya seorang anak yang kini hampir berusia dua tahun itu?

Aku terkejut saat mengetahui kalau ternyata anak yang dilahirkannya hanya berusia empat bulan kemudian meninggal. Katanya dia sengaja tidak memberitahukanku, agar aku tidak bersedih. Linangan airmatanya membuatku mengelusnya dan menciumnya. Saat itulah aku mengerti, kenapa Kak Dwi sangat merindukanku, karean suaminya jarang di rumah, karena lebih banyak di rumah isteri tuanya. Aku geram mendengarnya.

Tak berapa lama, suami kak Dwi datang dan kami berkenalan. Saat itu aku mengemukakan, agar Kak Dwi mau menemani aku ke rumah orangtua kami, karena aku sudah kangen pada kedua orangtua dan kangen juga kepada Kak Dwi. Dengan senang hati, suami Kak Dwi menyetujuinya bahkan mengatakan dia akan berangkan ke Ambon selama sebulan lebih untuk sebuah proyek. Dia memberikan sejumlah uang kepada kami untuk biaya selama sebulan di rumah orangtua dan perjalanan. Hanya itu, tanpa basa-basi dia langsung pergi. Aku jadi mengerti kenapa Kak Dwi selalu mengeluh pada suaminya itu.

Dengan mengendarai sepeda motor kami hanya membawa dua buah ransel. Ransel Kak Dwi di punggungnya dan ranselku tergantung di bahuku dan berada di dadaku. Dengan senang dan bahagia sekali Kak Dwi memelukku erat dari belakang. Teteknya menempel erat di punggungku. Aku juga bahagia.
"Kak aku jadi horny, tetek kakak nempel di pungungku," kataku.
"Lantas bagaimana?"
"Bagaimana kalau malam ini kita menginap di hotel saja dan besok pagi kita lanjutkan perjalanan," kataku.
"Siapa takut..." Kak Dwi menjawab dengan sangat bahagia sekali.

Dua puluh menit kemudian aku membelokkan sepeda motorku ke sebuah hotel melati yang bersih dan sepi. Kami memesan sebuah kamar dan memasukinya. Aku mengajaknya mandi bersama. Kak Dwi tersenyum dan langsung mengangguk kepalanya tanda setuju.
"Sekarang kamu bebas. Bukalah pakaianku sampai aku bugil," katanya. Aku melakukannya dan aku menatap tubuhnya yang indah. Saat itu juga Kak Dwi melepas satu persatu kancing bajuku, hingga semuanya sudah terlepas dari tubuhku. Kami berdua sudah bugil. Kami berlepukan dan saling berpagutan. Tubuh kami tanpa sehela benang pun demikian rapat. Aku membopongnya memasuki kamar mandi.

Tentu saja kami tidak langsung mengguyur tubuh kami dengan air sejuk itu. Kami melanjutkan pagutan kami. Dengan aroma keringat selama dua jam naik sepeda motor, ternyata membuat kenangan indah kami kembali terngiang. Aroma tubuh kami, masing-masing membuat kami merindukannya. Setelah puas berpagutan kami pun mengguyur tubuh kami dengan air sejuk dan kami saling menyabuni. Setelah bersih kami mengeringkan tubuh kami dengan handuk empuk dan bersama kami kembali ke ruang kamar tidur. Saat itu Kak Dwi langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan aku tak tahan melihat keindahan tubuh Kak Dwi. Aku kembali menciumnya dan kami pun...

Entah bagaimana mulanya, aku pun tak mengerti. Jelasnya, kami sudah sama-sama bugil di atas ranjang. Lampu temaram di dalam kamar, membuat kami semakin asyik saja. Nafsu semakin menggebu. Lidah kami saling bertautan dengan buas. Kak Dwi tak mau diam. Dia terus memelukku dan meremas-remas rambutku. Nafasnya semakin memburu dan...

"Ayo naik ke atas tubuhku..." pintanya. Aku menaiki tubuhnya dan menindihnya dari atas.
"Tolong jangan siksa aku. Masukin cepat..." katanya dengan nafas terengah-engah. Kutusuk lubang nikmatnya. Memek yang sudah sangat basah itu, dengan cepat dimasuki oleh kontolku yang mengheras dan tegang.
"Oh... nikmat sekali. Hangat dik," katanya dan terus meremas rambutku sembari lidahnya terus menerus mempermainkan lidahku. Tanpa kuasa, Kak Dwi langsung menjepitkan kedua kakinya ke pinggangku. Dengan buasnya dia mempermainkan tubuhnya dari bawah sampai aku terayaun-ayun di atas tubuhnya.

Aku kehilangan keseimbangan. Aku terbuai oleh nafsu yang menggebu-gebu. Dan aku berteriak tertahan.
"Aku sudah mau sampaiiii" kataku.
"Ya. Keluarin sebanyaknya," desis Kak Dwi. Aku melepaskan spermaku beberapa kali ke dalam lubang nikmat itu. Banyak sekali perasaanku. Kak Dwi terus memelukku dengan kuat sembari histeris kecil dan menjepit kedua kakinya semakin kuat dan memeluk tubuhku dengan kuat pula. Aku merasakan kehangatan lendir yang membasahi dari dalam tubuh Kak Dwi.

Ada satu menit dia masih memeluk tubuhku dan nafasnya mendesah-desah di telingaku. Nafas yang hangat di lubang telingaku membuatku bergidik. Lama kelamaan pelukan Kak Dwi semakin melemah dan jepitan kakinya juga demikian. Kami berkeringat dan mengeluarkan aroma tubu kami masing-masing.

"Terima kasih dik. Aku kembali terasa seperti hidup setelah sekian lama aku mati dalam rasa," katany perlahan dengan nafas yang belum teratur.
"Aku juga sangat merindukanmu, Kak," kataku. Kami bertatapan dan tersenyum.

Berdua kami ke kamar mandi membersihkan diri setelah kami mampu mengatur nafas kami menjadi normal kembali. Siraman air sejuk membuat kami semakin tenang. Aku mencuci kontolku dan Kak Dwi menyabuni memeknya. Kami keluar kamar mandi. Saat Kak Dwi mau membalut tubuhnya pakai handuk aku melarangnya. Aku ingin sepanjang malam ini, kami tidak tertutupi sehelai benangpun kami aku ingin bertelanjang bulat bersama sampai besok pagi.

Kembali kami naik ke atas ranjang dengan ditutupi oleh selimut tipis milik hotel. Kipas angin masih terus mengipas-ngpaskan angin dalam ruangan 4 x 4 meter itu. Keringat kami berangsur hilang dan tanpa kami sadari kami tertidur pulas. Kami tidak bermimpi apa-apa.

Kami melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor. Sampai akhirnya kami sampai di rumah kedua orangtua kami yang menyambut kami dengan senang. Mereka mengetahui, kalau kami sejak kecil adalah adik beradik yang sangat akrab dan saling memanjakan. Mereka menangapi biasa saja saat kami berdua tiba dengan sepeda motor.

Tiga hari di rumah orangtua kami, kami kembali lagi ke kota. Kami sengaja pergi saat matahari mau muncul ke bumi. Perlahan lahan kami mengendarainya. Toh kami akan menginap lagi di hotel bareng semalam baru kami tiba di rumah Kak Dwi. Saat itulah kami membicarakan segala sesuatunya, termasuk tuntutan Kak Dwi mau bercerai dari suaminya. Dia akan menuntut sebuah rumah dan sebagainya. Nampaknya menurut telangkai, suaminya bakal memberikan sebuah rumah dan sebidang tanah untuk Kak Dwi. Kak Dwi ingin memberikan sawah itu kepada orangtua kami dan rumah itu akan dijual. Kak Dwi akan ikut aku ke seberang pulau. Aku senang sekali.

"Aku berharap, kamu mau menikahi aku, Dik," katanya. Ucapannya membuatku terbelalak.
"Bahaya, Kak," kataku.
"Tolong aku, kalau kamu sayang padaku. Aku tak mau berpisah denganmu. Bagaimana caranya, kamu harus menikahiku. Jadikan aku isterimu," katanya.

Rasanya pusing juga aku memenuhi permintaannya itu. Tapi dia mengancam, kalau aku tdak menikahinya, dia akan bunuh diri, karena dia tak mau menikah dengan laki-laki lain yang pasti tidak akan menyayanginya seperti aku menyayanginya. Kami putar otak agar kami bisa menikah. Dengan seorang calo nikah, akhirnya kami mendapatkan apa saja yang dibutuhkan. Semua surat sudah terpenuhi, kemudian kami menikah, padahal perceraian belum juga terlaksana.

Begitu surat nikah sudah ditangan kami, perceraianpun terlaksana. Kakak menerima putusan mahkamah Syariah, dia mendapat sebuah rumah yang mereka tinggali dan sepetak sawah di kampung yang tidak luas. Kak Dwi tak memikirkan apa-apa lagi pokoknya putusan hakim dia terima. Demikian gampangnya. Akhirnya setelah negosiasi, rumah yang seharusnya milik Kak Dwi diuangkan saja. Dengan cepat suaminya membayar rumah itu dan sekaligus uang tenggang idhah-nya selama 100 hari.

Dengan izin orangtua, aku me mbawa Kak Sri ke seberang pulau. Kami tingal di sebuah desa dan melapor kepada kepala desa dengan surat nikah kami. Akhirnya Kak Dwi menjadi sisteri resmiku. Rumah mungilku aku perbaiki dan Kak Dwi membuka usaha kecil-kecilan di depan rumah dan aku bekerja sebagaimana biasanya.

Lima bulan kemudian, Kak Dwi hamil. Kami senang sekali. Rezeki kami pun membaik. Rumah meungil sudah diperbesar sedikit dan kami sudah memiliki sebuah truk pengangkut kebutuhan pekerjaanku. Kami juga memiliki 10 hektar lahan sawit.

Ketika aku memiliki tiga orang anak. kedua orangtuaku ingin sekali datang untuk melihat anakku dan katanya dia ingin melihat anak Kak Dwi yang kami katakan Kak Dwi juga sudah memiliki anak. Akhirnya aku putuskan aku kembali ke desa untuk menjelaskan kepda mereka, apa yang terjadi.
Mulanya kedua orangtua kami tidak bisa menerima apa yang aku sampaikan. Dengan berbagai alasan, kalau aku tidak menikahi Kak Dwi, dia akan bunuh diri dan tak mau lagi jadi korban kawin paksa dan seterusnya dengan berbagai bujuk rayu, akhirnya ibu kami mulanya dapat menerima, kemudian ayah kami menyerah.

Aku membawa merek a naik pesawat terbang ke ibukota provinsi, kemudian nyambung naik bus dan sampailah di rumah kami. Melihat tiga cucunya, kedua orangtua kami tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya mampu menimang cucu mereka. Seminggu kemudian mereka aku antar sampai lapangan terbang. Aku tak mengetahui apa yang ada di dalam pikiran mereka.

Sejak itu, antara kami tidak ada lagi komunikasi. Anak-anak kami tumbuh dewasa dan sehat. Kami bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar