Bualan Ayahku Hingga Meniduriku Yang Sedang Hamil
|
Bualan Ayahku Hingga Meniduriku Yang Sedang Hamil |
Cerita Seks - Sebut
saja saya Mari, wanita berumur 18 th., telah menikah serta tengah hamil 8 bln..
Saya berani bercerita kisahku sesudah Sam (60), bapak kandungku diamankan
polisi lima bln. lantas, sesudah pernah digebuki Mas Handi (25), suamiku.
Sebagai
wanita yang tumbuh ditengah keluarga miskin dilingkungan pesisir, aku terbiasa
hidup dan kerja keras membantu orangtuaku yang nelayan. Kampung kami di pulau L
(Edited ***) agak jauh dari kota dan seperti terisolir membuat tatanan
kehidupan bermasyarakat disana kurang terbuka, aku pun tumbuh menjadi gadis
kurang pergaulan.
Sejak
berusia 11 tahun, ayah dan ibuku bercerai. Ibu kawin lagi dengan lelaki
idamannya membawa Fery, adikku. Mereka pun tinggal di kota, dirumah barunya.
Sejak itu pula aku hidup bersama ayahku dirumah kami dikampung pesisir itu,
karena Anto dan Santi, kedua kakakku sudah merantau kepulau seberang.
Kehidupanku
bersama ayah berjalan wajar. Untuk makan sehari-hari, ayah masih sanggup
mencari nafkah sebagai nelayan, sedangkan aku turut membantu bibi berjualan
dipasar. Hingga aku menginjak usia 17 tahun, dan tumbuh menjadi gadis yang kata
masyarakat kampungku aku lumayan cantik. Diusia itu aku disunting Mas Handi,
anak lelaki bibiku.
“Kamu
sudah dewasa nak, setelah menikah nanti jadilah istri yang taat kepada suami.
Ayah harap kamu tidak seperti ibumu yang tergiur harta kekayaan lelaki lain
sehingga kamu menderita,” kata ayah setelah menerima pinangan bibi, orang tua Handi.
Pesta
penikahan yang cukup mewah untuk ukuran kami tak membuat aku bergembira karena
pikiranku tertuju iba pada ayahku yang nantinya akan sebatangkara kutinggalkan.
Tapi aku pun sangat mencintai Mas Handi, suamiku.
Dimalam
pertama kami, aku benar-benar bahagia bersama Mas Handi. Malam itulah
kuserahkan semua yang kumiliki padanya, sangat berkesan bagiku.
“Aku
sayang kamu Mari..” Mas Handi mengecup keningku saat kami dipembaringan, usai
pesta kawin kami malam itu.
“Aku juga Mas..” jawabanku tulus dan kami pun berpelukan erat.
Kecupan
Mas Handi dikeningku terus turun ke pipi, hidung, dan selanjutnya Mas Handi
mengecup bibirku dan mengulumnya dalam. Tangannya mulai melucuti kebaya putih
yang kukenakan, menyibak bra yang kupakai, lalu menyentuh puting susuku,
meremas dan mencubit kecil susuku.
“Aouhh
Mass, geli Mas,” terus terang baru sekali itu aku dijamah lelaki, perasaanku
bukan main takut bercampur enak.
Mas
Handi tak peduli, bagaikan singa lapar ia kemudian melucuti seluruh kain yang
melilit tubuh bawahku dan juga melepaskan seluruh pakaiannya.
“Tenang
ya sayang, sakit sedikit kok.. nanti juga enak,” kata itu keluar dari bibir Mas
Handi saat menindih tubuhku.
“Aahh mass, sakit sekali Mas,” aku agak menjerit saat benda tumpul milik Mas Handi
mengoyak vaginaku.
Malam
pertama itu Mas Handi menyetubuhiku dengan beringas, dan tak memberiku
kesempatan untuk mencapai klimaks yang nikmat. Tapi aku pikir mungkin itulah
gaya seks pria pesisir yang terbiasa hidup keras sebagai nelayan.
Meski
aku bahagia hidup bersama suamiku, namun rasa BHakti pada ayah tak pernah
kusingkirkan. Walau kami hidup beda rumah, dengan jarak 200 meter. Tetapi
seringkali kubawakan ayah makanan dan minuman, biasanya tiga hari sekali.
Apalagi Mas Handi pun menyuruhku untuk tetap memperhatikan ayahku yang mulai
tua, dan jarang melaut lagi. Tapi selama itu segela sesuatunya masih berjalan
lancar.
Hingga
suatu siang, empat bulan setelah aku menikah, aku membawakan makanan dan
minuman kerumah ayah yang letaknya agak terpisah dari rumah lainnya dikampung
kami. Saat itu aku sudah hamil dua bulan.
“Ini
yah, saya bawakan sayur dan ikan. Ayah nggak usah masak lagi untuk nanti malam
tinggal dihangatkan saja,” kataku setiba dirumah ayah.
“Duh.. makasih ya sayang. Kamu ini benar-benar anak berBHakti,” kata ayah
seraya menghampiri dan mengecup keningku.
Kupikir
kecupan itu pertanda sayang seperti yang selama ini diperbuat padaku, kubiarkan
saja itu dan kemudian aku ke dapur untuk memindahkan makanan dari rantang yang
kubawa kepiring didapur. Ayah rupanya membuntutiku dan ikut kedapur, lalu
disaat tanganku sibuk menyusun piring dimeja makan, ayah memelukku dari
belakang.
“Kamu
sudah hamil ya sayang,” tanya ayah sambil memeluk dan memegangi perutku dari
belakang.
“Iya yah, sebentar lagi saya akan kasih ayah cucu,” jawabku membiarkan ayah
tetap memelukku, karena kupikir ayah sangat menyayangiku.
“Kalau mulai hamil, perutmu harus sering diusap dan dipijit pelan supaya
bayinya nggak turun,” ayah berkata itu sambil mengusap perutku dengan posisi
tetap memelukku dari belakang.
Kubiarkan ayah melakukan itu sementara aku tetap sibuk memindahkan makanan
untuk ayah.
“Si Handi sering mijitin kamu nggak sayang,” ayahku bertanya lagi.
“Uh ayah ini, Mas Handi kan kerja, pulangnya capek mana sempat mijitin saya.
Bukannya saya sebagai istri yang harus mijitin dia?” kujawab ayah dan
melepaskan pelukan ayah, lalu aku pindah keruangan depan.
Siang
itu, seperti biasanya sebelum pulang aku sempatkan untuk ngobrol bersama
ayahku. Selain menanyakan kebutuhan apa saja yang harus kubawakan, aku juga
kerab berkeluh kesah tentang sikap mertuaku, ibu Mas Handi yang sampai saat itu
belum bisa kuakrabi sebagai menantu. Tapi siang itu ayah justru membicarakan
masalah kehamilanku, masalah perawatan janin diperutku, termasuk masalah harus
rajin diusap dan dipijat perutku.
“Nah..
suamimu kan nanti malam melaut, kamu datang keMarii saja supaya ayah bisa
pijitin ya,” begitu pinta ayah sebelum aku pulang.
Aku
pun mengiyakan saja, soalnya biasanya Mas Handi pulangnya agak siang setelah
melaut. Lagipula, dirumah mertua aku sering bingung mau melakukan apa, maklum
mertuaku belum sreg benar kepadaku kelihatannya.
Malam
itu setelah Mas Handi pamit melaut, aku langsung kerumah ayah. Tentu saja aku
pamit ke mertua untuk menengok ayah, kataku pada mereka, ayah sedang sakit.
Waktu aku datang, ayah sedang mendengarkan siaran radio sambil menghisap rokok
tembakau lintingan diruang tamu.
“Malam
yah.. kok ngelamun sih?” sapaku sambil bergelayut dilengan ayahku.
“Iya sayang, ayah lagi ingat masa muda dulu,” ayahku tetap asyik dengan rokok
lintingnya.
Dari bibirnya segera meluncur secuil perjalanan hidupnya yang sebenarnya sudah
sering diceritakan pada kami, anak-anaknya.
“Tuh kan ayah jadi cerita, jadi nggak nih mijitin saya? katanya sayang sama
cucu yang masih diperut ini?” aku merajuk menghentikan ceracau ayahku tentang
hidupnya.
“Iya..iya, tapi sekarang kamu mandi dulu sana,” perintah ayahku.
Aku
langsung mandi dan terus kekaMari ayahku. Saat itu seluruh pakaianku
kutanggalkan dan hanya menggunakan kain sarung milik ayah untuk menutup
tubuhku. Biasanya dikampung ini, melilit tubuh dengan sarung sudah jadi tradisi
tiap wanitanya.
“Sekarang
berbaring diranjang itu ya sayang, ayah ambilkan minyak kelapa dulu,” ayahku
memandangi tubuhku dengan senyuman, lalu meninggalkanku sendirian dikaMari, aku
pun menunggunya sambil berbaring diranjang. Tak lama kemudian ayah datang
membawa sebotol kecil minyak kelapa.
“Memang susah anak muda sekarang, nggak perhatian sama istrinya,” ayahku bicara
sendiri ketika duduk ditepi ranjang.
“Iya, untung saya masih punya ayah yang perhatian ya yah,” kataku.
Tangan
ayah segera menyibak kain yang kukenakan dibagian atas, sehingga susuku tanpa
pembungkus bebas terlihat. Tetapi aku sama sekali tak risih karena sejak kecil
sampai gadis pun aku sering dilihat mandi telanjang oleh ayah. JeMarii ayah
yang kasar mulai mengusapi perutku dengan minyak kelapa, sesekali tangannya
memijit bagian perutku.
“Tuh
kan? Posisi bayimu agak turun, kamu sering merasa sakit ya?” ayah bertanya sambil
tangannya terus memijiti perutku.
“He-eh yah.., sering capek juga kakinya,” jawabku menikmati pijitan ayah.
“Ya sudah, nanti ayah pijitin seluruh badanmu ya,” ayah mengatakan itu, lalu
pijitannya pindah kebetisku, pijatannya bergantian betis dan perut.
Sambil
dipijit, aku dan ayah tetap ngobrol, mulai masalah harga ikan yang sedang
turun, sampai masalah masa lalu ayah dengan ibuku.
“Uhh..
sakit yah,” aku agak berteriak saat merasakan sakit dibagian perut saat tangan
ayah memijit.
Ayah menghentikan pijitannya, tetapi tangannya tetap berada diatas perutku.
“Ini ya yang sakit Mari? Wah.. ini bisa bahaya, kalau dibiarkan nanti anakmu
bisa cacat lho kalau lahir,” kata ayah dengan raut wajah serius.
“Cacat? Jadi gimana dong yah, Mari nggak mau punya anak cacat,” aku takut
sekali waktu itu, takut menanggung malu jika kelak melahirkan anak yang tak
normal.
Ayah tak langsung menjawab pertanyaanku, ia kelihatan sedang berpikir, tapi
kemudian tersenyum.
“Bisa kok ayah obatin, tapi ayah harus siapin obatnya dulu ya,” ayah kemudian
meninggalkanku sendirian dalam kaMari. Tak lama ayah datang lagi dan membawa
baskom plastik berisi air dan beberapa kembang kenanga.
Ayah
kemudian menjelaskan padaku bahwa ia akan mengobati kehamilanku dengan
pengobatan tradisional.
“Tapi ayah harus masukan air kembang ini kedalam rahimmu sayang, kamu bisa
tahan sakit sedikit kan?” ayah mengatakan itu dengan sangat meyakinkan.
Semula
aku ragu, apalagi ayah bilang kalau dia akan memasukan air kembang itu dengan
cara menyemburkannya divaginaku. Tetapi keraguanku pupus setelah ayah
berkali-kali meyakinkanku. Sampai sekarang pun aku tak tahu pasti apa kata
ayahku itu benar atau hanya sekedar akal bulusnya saja. Tetapi yang jelas, saat
itu aku menurut saja ketika ayah menyingkap sarung yang kukenakan dibagian
bawah dan meminta aku mengangkangkan kaki dalam posisi terlipat, seperti posisi
wanita yang hendak
bersenggama dengan lelaki. Ayah sendiri naik keranjang dengan posisi bersimpuh
dihadapan kangkangan kakiku. Terus terang aku malu dan kikuk menyadari betapa
vaginaku terpampang jelas tanpa penghalang didepan mata ayahku.
“Kamu
tenang saja ya sayang, tidak lama kok,” katanya, lalu meneguk air kembang dalam
baskom dan menampung dalam mulutnya yeng menggelembung.
Aku
sangat penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya, apalagi saat kepala ayah
mulai merunduk melewati dua pahaku, mendekati vaginaku yang tak terbungkus CD.
Beberapa detik kemudian kurasakan dingin mejalar dipermukaan kemaluanku,
rupanya ayah sudah menyemburkan air dalam mulutnya tepat kevaginaku. Yang
kurasakan selain dinginnya air kembang, juga perasaan geli dibagian vitalku.
Ayah mengulangi lagi meneguk air itu dan menyemburkan ke vaginaku, beberapa
kali. Hal itu menimbulkan perasaan tak menentu padaku, geli, dingin bercampur
enak.
“Gimana
Mari, sudah agak membaik rasa sakitnya?” ayah bertanya padaku.
Namun belum sempat kujawab tangan kanan ayah tiba-tiba membelai vaginaku.
“Sabar ya, ayah harus pastikan air kembang itu masuk sampai kerahimmu,”
katanya, sambil tangannya terus mengusapi bibir vaginaku.
Usapan
tangan ayah divaginaku yang sudah basah terkena air kembang membuat sensasi
tersendiri kurasakan, aku pun tak bisa berkata-kata lagi karena mendadak lemas
seluruh sendi tubuhku.
“Uhh yahh.. sudah yah.., Mari nggak bisa tahan geliinya,” bibirku meminta ayah
menghentikan aksi usapnya, tetapi kedua tanganku tak menahan tangan ayah yang
aktif, tetapi tanganku justru meremasi sprei ranjang kanan dan kiri.
“Disini ya sayang yang geli itu,” ayah bertanya sambil jempol kanannya menekan
klitorisku dan menguyak-nguyak benda sensitifku itu memutar kecil.
“Nnnghh.. iya yah.. geli sekali disituhh,” nafasku mulai tersengal menahan geli
yang nikmat dibawah usapan jempol ayah dibagian klitorisku.
Rasa
gatal yang sangat kurasakan dipucuk-pucuk kedua susuku yang putingnya sudah
mengembang pertanda birahi yang kualami.
Ayah meneruskan aktifitasnya mengusapi klitorisku dengan jempolnya, usapan itu
perlahan melemah dengan posisi jempol beranjak menjauh dari klitorisku. Saat
itu aku sudah sangat terangsang oleh ayah, pinggulku kini yang naik mengejar
jempol ayah agar tak meninggalkan klitorisku. Aku menggelepar dengan napas
sudah sangat tidak beraturan lagi, pikiranku sudah melayang dan tak ingat lagi
bahwa yang merangsangku adalah ayahku sendiri. Tapi disaat aku sudah sangat
terangsang seperti itu, ayah justru menghentikan aktifitasnya di klitorisku.
Pinggulku yang tadinya sedikit mengangkat mencari jempol ayah langsung
terjerembab lagi, aku terpejam menahan gejolak yang berkecamuk ditubuhku.
“Auhh
yahh, kenapa?” tanyaku agak kecewa, tapi mendadak malu saat ayah menatapku,
malu karena aku seperti meminta hal yang lebih dari ayahku.
“Mari.. sepertinya air kembang itu tidak masuk benar dalam rahimmu. Ayah ulangi
semburannya ya,” kata ayahku.
“Yah.. sudah saja ya, Mari.. nggak tahan gelinya,” pintaku, tapi anehnya
tubuhku tetap berbaring seolah tak ingin menjauhi ayah.
Ayah
tak menjawab permintaanku dan kembali meneguk air kembang lalu ditampung
dimulutnya. Aku memejamkan mata saat kepala ayah kembali tunduk mendekat ke
pangkal pahaku. Aku kembali merasakan dingin di permukaan vaginaku saat ayah
mulai menyemburkan air kembang, tapi kali ini lain, setelah semburan itu aku
merasa ada benda kenyal nan lembut menyapu permukaan
vaginaku. Kupikir itu jeMarii tangan ayah, tetapi tidak, itu bukan tangan,
benda bertekstur lembut, hangat, dan kenyal itu adalah lidah ayah. Ya, ayah
mengusapi tepatnya menjilati permukaan vaginaku dengan lidahnya.
“Ihh..
mmpphh yaahh, aauhh hhsstt,” aku tak kuasa menahan rasa nikmat dijilati ayah,
terus terang sejak kawin dengan Mas Handi belum pernah aku diperlakukan seperti
itu. Mas Handi selalu main langsung tembak, tanpa rangsangan lebih dulu
sehingga selama ini aku sendiri belum pernah merasakan apa yang disebut
kenikmatan orgasme. Jilatan ayah mulai meningkat, kini lidahnya justru sering
menelusup belahan bibir vaginaku yang mulai banjir. Cairan bening kental dari
vaginaku diseruput ayah seperti menyeruput kopi hangat dari gelasnya.
“Ngghhsstt..
yah.. Mari nggak bisa tahnn.. ouhh..” aku mulai menggelinjang tak menentu
rasanya.
Namun
disaat aku mulai melambung tinggi, ayah menghentikan lagi aktifitasnya di
vaginaku, membuat aku menggelepar menahan birahiku sendiri.
“Mari.. ayah agak sulit masukan air kembang itu kerahimmu. Tahan sebentar lagi
ya,” katanya.
“Yah.. cepetan ya, Mari nggak kuat lagi, geli sekali yah,” aku merasa semakin
lemas karena birahiku dipermainkan seperti itu.
Saat
itu aku berhayal seandainya Mas Handi ada tentu dialah yang akan memuaskanku
dengan penisnya, karena aku merasa sudah siap betul dan ingin sekali untuk
disetubuhi lelaki. Tapi pikiran itu kutepis, karena bukankah ayah yang sedang
mengobati kandunganku? Aku tak berpikir bahwa ayah pun terangsang saat itu.
Tapi
tak lama kemudian kurasakan nafas ayah kembali mendekati vaginaku, setelah
meneguk air kembang yang hampir habis di baskom. Ayah tidak lagi menyemburkan
air itu dengan berjarak dari vaginaku, tetapi bibir ayah langsung menempel
dibibir vaginaku dan ia menyemburkan air itu. Kurasakan aliran air itu masuk
hingga ke dinding rahimku, rasanya sama seperti saat Mas Handi menumpahkan
spermanya ketika kami bersenggama. Setelah itu bibir ayah melumati bibir
vaginaku, lidahnya mulai masuk dibelahan vaginaku membuat nikmat yang sangat
dibagian sensitif itu, aku benar-benar kepayang dibuat ayah. Kini jeMarii
tangan ayah turut menyibaki vaginaku, membukanya lebar dan lidahnya menyapu
klitorisku dari atas kebawah dan sebaliknya dari bawah keatas.
“Ouhh..
yah.. suddhh yaahh, Mari mau kencingg rasanya ah..” seluruh sendiku terasa
ngilu dan mengembang bersama kedutan kecil didinding vaginaku, aku hampir
sampai puncak orgasmeku.
“Iya sayang, sudah selesai kok,” lagi-lagi ayah menghentikan aktifitasnya, tapi
saat kubuka mata ternyata kali ini tubuh ayah sudah berada diatas tubuhku
dengan bertopang pada dua tangannya.
“Yah.. kok ayah begitu? Ouhh yahh.. ahh,” belum habis kagetku karena ayah
menindih, aku merasakan ada benda keras yang masuk ke vaginaku.
Ternyata
ayah sudah melepaskan celananya dan penisnya yang tegang dimasukan ke vaginaku.
Aku hendak berontak karena hal itu tabu dikampungku dan dimanapun, bukankah
seorang ayah tak boleh melakukan itu pada anak perempuannya. Perang bathin
kualami saat itu, aku ingin mendorong tubuh kekar ayahku tetapi aku sudah
sangat lemas saat itu. Sementara dorongan birahiku ingin segera terpuaskan
dengan senggama bersama lelaki.
“Oohhgg,
Mari.. angap saja ayah Handi Mari.. ouhh ayahh nggak tahhann,” ayah tetap
menindihku dan kini pinggulnya mulai naik turun diatas tubuhku membuat penisnya
bebas keluar masuk diliang nikmatku yang sudah licin dan becek oleh cairanku
sendiri.
“Nghhg.. aahsstt, yahh..” aku tak kuasa lagi menolak penis ayah yang mulai
mengobati rasa gatal di vaginaku.
Dengan
mata terpejam aku malah ikut menyambut goyangan ayah dengan goyangan pinggulku.
Merasa aku tak melawan, ayah pun semakin liar menyetubuhiku, anak kandungnya.
Kini sambil menggenjotku, bibir ayah menjelar menghisapi puting susuku,
sehingga senggama kami sempurna dan kenikmatan yang kurasakan pun semakin tak
tertara bila dibanding senggamaku bersama suami.
Sekalipun
usia ayah sudah kepala enam, tetapi kondisi fisiknya masih kuat dan kurasakan
penisnya pun masih normal dengan ukuran yang sedikit lebih besar dari punya Mas
Handi.
“Yahh..
Marir mauu kencinghh yahh uuh..sstt,”
Sepuluh
menit berlalu dalam senggama, kurasakan kenikmatan mulai mengumpul di pangkal
pahaku, bongkahan pantatku, ujung-ujung jari kakiku, dan juga di liang
nikmatku. Kedutan semakin terasa didinding vaginaku, dan akhirnya kurasakan
kejang dibagian pinggul sampai kakiku, kakiku kemudian kugunakan untuk menjepit
pinggul ayah dan menekannya agar lebih dalam penisnya bersarang di vaginaku.
Tanganku memeluk tubuh berkeringat ayah, sementara kepalaku terangkat dengan
bibir menyedok kulit dada ayah. Dalam kondisiku yang puncak itu, ayah masih
menggejot penisnya beberapa kali sebelum akhirnya
ayaHPun mengejang dan mengerang diatas tubuhku.
“Ahhgg
Mari.. ngghh,” ayah lalu lunglai dan berbaring disampingku yang juga lemas tak
bertenaga. Tulangku seakan dicopoti saat itu, namun kuakui itulah kali pertama
aku kepuncak nikmatnya senggama.
Malam
itu aku tidur bersama ayahku dirumahnya, dan paginya kami seperti melupakan
kejadian itu. Akupun pulang kerumah mertua pagi harinya, dan bersikap seperti
biasa saat Mas Handi pulang melaut.
*****
Kejadian
pertama bersama ayah, membuat aku agak malu untuk datang kerumah ayah lagi.
Sudah dua minggu ini aku tidak menjenguk atau mengantarkan makanan untuk ayah.
Entahlah, walau sebenarnya aku tak keberatan disetubuhi nikmat oleh ayah,
tetapi aku malu kalau disangka ayah ingin mengulangi kenikmatan itu lagi.
Sore
itu, sebelum Mas Handi melaut seperti biasa ia meminta jatah dilayani kebutuhan
biologisnya. Sebagai istri kulayani suamiku semaksimal mungkin. Tapi seperti
biasa juga, Mas Handi hanya memikirkan kepuasannya saja, dan sudah mengejang
menyemprotkan air maninya sebelum aku merasa terangsang, apalagi orgasme.
“Mhh,
aku sayang kamu Mari..” Mas Handi selalu mengatakan itu sambil mengecup
keningku setiap kali usai menikmati klimaks diatas tubuhku, lalu ia mengenakan
kembali pakaiannya dan meninggalkanku sendiri dikaMari, ia pun melaut bersama
teman-temannya.
“Hati-hati Mas..,” hanya itu yang kuucapkan melepas pergi suamiku.
Aku
tetap berbaring diranjang tanpa mengenakan kembali pakaianku, rasa kecewa
terhadap suamiku tumpah lewat air bening yang meluncur ditepian mataku. Aku
merasa tersiksa dua minggu ini setiap kali berhubungan intim dengan suamiku,
tersiksa karena tak mendapatkan nikmat yang maksimal seperti yang kudapat dari
ayahku. Setelah suamiku menhilang dibalik pintu, aku bangkit dan mengunci
kembali pintu kaMari. Kembali berbaring diranjang tanpa busana, aku menghayalkan
kenangan nikmat bersama ayah. Tak terasa tanganku mulai meremasi payudara
sendiri, sambil membayangkan ada lelaki yang sedang mencumbuiku, aku pun
menjelajahi bagian tubuh sensitifku sendiri. Malam itu aku mencapai orgasmeku
dengan masturbasi sambil menghayalkan ayahku, lalu tertidur pulas.
Esoknya,
pagi-pagi benar sebelum Mas Handi pulang melaut, aku menyiapkan makanan untuk
kubawa kerumah ayah. Entahlah, aku ingin sekali kerumah ayah pagi itu.
“Eh
kamu Mari.. ayah kira siapa,” kata ayah menyambut ketukan pintuku.
“Iya nih yah, bawakan ayah makanan,” aku menjawab tanpa mampu menatap mata
ayah, aku malu dan jadi canggung pada ayahku sendiri.
Ayah
kemudian menyuruhku masuk, dan seperti biasanya aku langsung kedapur untuk
memindahkan makanan dirantang yang kubawa kepiring di dapur rumah ayahku.
“Gimana
sayang, sudah nggak sakit lagi perutmu?” suara ayah menyapaku, dan aku agak
terkejut ketika ayah tiba-tiba sudah mendekap tubuhku dari belakang sambil
tangannya mengusapi perutku yang nampak sedikit membuncit dengan usia kehamilan
3 bulan.
“Eh ayah.. Mari sampai kaget. Kadang-kadang masih tuh yah, tapi agak membaik
kok setelah dipijit ayah waktu itu,” aku bingung harus menjawab apa saat itu.
“Gimana kalau ayah pijit lagi? biar nggak sakit-sakitan perutmu itu,” nafas
ayah tepat menghembusi tengkukku, membuat aku menahan geli dan merinding.
Sebelum
aku menjawab, tangan ayah kurasakan membelai bongkahan pantatku dan mulai
menyingkap naik bagian bawah daster yang kupakai pagi itu.
“Enghh
ayah.. jangan lagi ah,” aku berusaha menepis tangan ayah dan kembali meneruskan
kegiatanku merapikan piring di meja dapur ayah. Tapi tangan ayah seperti tak
mau pergi, dari belakang itu ayah malah memasukan tangannya kebalik dasterku
dan mengusapi bongkahan pantatku, sesekali meremasinya.
“Ya
sudah, kalau nggak mau dipijitin dikaMari, ayah pijitin disini saja ya. Kamu
kan bisa sambil rapikan piring itu,” ayah semakin berani menyusupkan tangannya
kebalik CD ku, sehingga kini tangan kasarnya mengusapi pantatku tanpa
penghalang. Saat tangan ayah langusng menyentuh kulit pantatku secara langsung,
aku merasakan desiran aneh yang kemudian memacu libidoku.
Kucoba menahan desiran itu dan tetap merapikan makanan diatas meja dapur,
tetapi aku tak lagi menepis aktifitas ayah, aku membiarkan ayah berbuat
semaunya.
“Asshtt
yah.. janganhh geli yah,” aku menggelinjang saat bibir ayah mengecup tengkukku,
tapi aku tak mampu menghindarinya.
“Kamu merunduk diatas meja ya sayang, tenang saja.. supaya perutmu cepat
sembuh, ayah pijitin sambil berdiri ya,” ayah menekan bahuku dari belakang
sehingga posisi tubuhku merunduk dengan kedua tangan menopang dibibir meja.
Penasaran
juga apa yang akan ayah lakukan, aku pun tak bisa menjawab selain mengikuti
perintah ayah itu. Kini pekerjaan merapikan piring sudah tidak ada lagi, yang
ada aku merunduk pasrah di meja itu, menunggu apa yang akan ayah lakukan
selanjutnya.