Mama Temanku Yang Nakal

Mama Temanku Yang Nakal

Mama Temanku Yang Nakal

                       Mama Temanku Yang Nakal



Bandar Ceme - Perkenalkan namaku Rangga, Usiaku sekarang sudah 27 tahun. Sampai sekarang aku masih hidup membujang, meskipun sebenarnya aku sudah sangat siap kalau mau menikah. Meskipun aku belum tergolong orang yang berpenghasilan wah, namun aku tergolong orang yang sudah cukup mapan, punya posisi menengah di tempat kerjaku sekarang. Aku sampai sekarang masih malas untuk menikah, dan memilih menikmati hidup sebagai petualang, dari satu wanita ke wanita yang lain. Kisahku sebagai petualang ini, dimulai dari sebuah kejadian kira-kira 9 tahun yang lalu.
Waktu itu aku masih kelas 3 SMU. Hari itu aku ada janji dengan Rendi, sahabatku di sekolah. Rencananya dia mau mengajakku jalan-jalan ke suatu mall sekedar menghilangkan kepenatan setelah seminggu penuh digojlok latihan sepak bola habis-habisan. 1 jam lebih aku menunggu di warung depan gang rumah pamanku (aku tinggal numpang di rumah paman, karena aku sekolah di kota yang jauh dari tempat tinggal orangtuaku yang di desa).

Jalan ke suatu mall dari rumah Rendi melewati tempat tinggal pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung pinggir jalan seperti biasa. Aku mulai gelisah, karena biasanya Rendi selalu tepat janji. Akhirnya aku menuju ke telepon umum yang ada di dekat situ, pengin nelpon ke rumah Rendi, memastikan dia sudah berangkat atau belum.
Sesampai di rumah Rendi, kulihat suasananya sepi. Padahal sore-sore begitu biasanya anggota keluarga Rendi pada ngobrol di teras rumah atau main badminton di gang depan rumah. Setelah celingak-celinguk beberapa saat, kulihat pembantu di rumah Rendi keluar dari pintu samping.
“Bi.. Bibi.. kok sepi.. pada kemana yah?” tanyaku. Aku terbilang sering main ke rumah Rendi, begitu juga sebaliknya Rendi sering main ke rumah pamanku, tempatku tinggal. Jadi aku sudah kenal baik dengan semua penghuni rumah Rendi, termasuk pembantu dan sopir papanya.
“Eh, mas Rangga.. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung (juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri , jawabnya dengan ramah.
“Oh.. jadi Rendi ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi,” jawabku sambil mau pergi.
“Lho, nggak mampir dulu mas Rangga. Mbok ya minum-minum dulu, biar capeknya hilang.”
“Makasih Bi, sudah sore ini,” jawabku.
Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba terbuka. Ternyata Tante Wulan, mama Rendi yang membuka pintu.
“Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak disuruh masuk?”, katanya sambil sedikit mendelik pada si pembantu.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Rangga nggak mau,” jawabnya.
“Eh, nak Rangga. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu,” kata Tante Wulan lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi tante,” jawabku.
“Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin minum sama bibi dulu,” kata Tante Wulan lagi sambil melambai ke arahku.
Aku tidak bisa lagi menolak, takut membuat Tante Wulan tersinggung. Kemudian aku melangkah masuk dan duduk di teras, sementara Tante Wulan masih berdiri di depan pintu.
“Nak Rangga, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang enak badan, tante nanti nggak bisa nemenin kamu kalau duduk di luar.”
“Ya tante,” jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.
“Rendi ikut Om pergi kemana sih tante?” tanyaku basa-basi setelah duduk di sofa di ruang tamu.
“Pada ke luar Kota, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek.”
“Ehm.. tante nggak ikut?”
“Besuk pagi rencananya tante nyusul. Soalnya hari ini tadi tante nggak bisa ninggalin kantor, masih ada yang mesti diselesaiin,” jawab Tante Wulan. “Emangnya Rendi nggak ngasih tahu kamu kalau dia pergi?”
“Nggak tante,” jawabku sambil sedikit terheran-heran. Tidak biasanya Tante Wulan menyebutku dengan “kamu”. Biasanya dia menyebutku dengan “nak Rangga”.
“Kok bengong!” Tanya Tante Wulan membuatku kaget.
“Eh.. anu.. eh..,” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa?” Tante Wulan meledek kegugupanku yang membuatku makin jengah. Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat, sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.
“Mas Rangga, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak enak,” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.
“Makasih Bi,” jawabku pelan.
“Itu tehnya diminum ya, tante mau mandi dulu.. bau,” kata Tante Wulan sambil tersenyum. Setelah itu Tante Wulan dan pembantunya masuk ke ruang tengah. Sementara aku mulai membaca-baca koran yang ada di meja untuk.
Hampir setengah jam aku sendirian membaca koran di ruang tamu, sampai akhirnya Tante Wulan nampak keluar dari ruang tengah. Dia memakai T-shirt warna putih dipadu dengan celana ketat di bawah lutut. Harus kuakui, meskipun Usianya sudah 35 tahunan namun badannya masih mantap. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya meskipun sudah mulai ada kerut di sana-sini, tapi masih jelas menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
“Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran ya liat nenek-nenek.”
“Mati aku!” kataku dalam hati. Ternyata Tante Wulan tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi,” katanya lagi. Kali ini aku sempat melihat Tante Wulan tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau dia tidak marah.
“Maaf tante, nggak sengaja,” jawabku sekenanya.
“Mana ada nggak sengaja. Kalau sebentar itu nggak sengaja, lha ini lama gitu ngeliatnya,” kata Tante Wulan lagi. Meskipun masih merasa malu, namun aku agak tenang karena kata-kata Tante Wulan sama sekali tidak menunjukkan sedang marah.
“Kata Rendi, kamu mau pertandingan sepakbola di sekolah ya?” Tanya Tante Wulan.
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan,” Aku sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak?”
“Ya sebenarnya lumayan menggangu tante, habisnya latihannya belakangan ini berat banget, soalnya sekolah sengaja mendatangkan pelatih sepakbola beneran. Tapi, sekolah juga ngasih dispensasi kok tante. Jadi kalau capeknya nggak ketulungan, kami dikasih kesempatan untuk nggak ikut pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu lah tante. Soalnya kalau badan udah pegel-pegel, ikut pelajaranpun nggak konsen.
“Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja,” kata Tante Wulan.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante?”
“Tante mau kok,” jawab Tante Wulan tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja,” kataku.
“Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini tante pijit,” katanya lagi.
“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani tante. Nggak sopan,” jawabku sambil menunduk setelah melihat Tante Wulan nampak sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit,” katanya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.
“Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ,” katanya sambil berjalan ke arahku. Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante Wulan memijat kedua belah pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa perasaanku saat itu.
Setelah beberapa menit, Tante Wulan menghentikan pijitannya. Kemudian dia masuk ke ruang tengah sambil memberi isyarat padaku agar menunggu. Aku tidak tahu persis apa yang dilakukan Tante Wulan setelah itu. Yang aku tahu, aku sempat melihat bibi pembantu keluar rumah melalui pintu samping, yang tidak lama kemudian disusul Tante Wulan yang keluar lagi dari ruang tengah.
“Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah sudah habis,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang tidak sempat kuucapkan. “Ayo sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke sini aja biar lebih enak,” kali itu aku hanya menurut saja pindah ke sofa panjang seperti yang disuruh Tante Wulan. Kemudian aku disuruh duduk menyamping dan Tante Wulan duduk di belakangku sambil mulai memijit lagi.
“Gimana, enak nggak dipijit tante?” Tanya Tante Wulan sambil tangannya terus memijitku. Aku hanya mengangguk pelan.
“Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja,” kata Tante Wulan kemudian. Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berani membuka kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.
“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain,” katanya sambil menaikkan bagian bawah kaosku. Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante Wulan membuka kaosku.

Setelah itu Tante Wulan kembali memijitku. Sekarang tidak lagi hanya pundakku, tapi mulai memijit punggung dan kadang pinggangku. Perasaanku kembali tidak karuan, bukan hanya pijitannya kini, tapi sepasang benda empuk sering menyentuh bahkan kadang menekan punggungku. Meski seUsia-Usia aku belum pernah menyentuh payudara, tapi aku bisa tahu bahwa benda empuk yang menekan punggungku itu adalah sepasang payudara Tante Wulan.
Beberapa lama aku berada dalam situasi antara merasa nyaman, malu dan gugup sekaligus, sampai akhirnya aku merasakan ada benda halus menelusup bagian depan celanaku. Aku terbelalak begitu mengetahui yang menelusup itu adalah tangan Tante Wulan.
“Tante.. ” kataku lirih tanpa aku sendiri tahu maksud kataku itu. Tante Wulan seperti tidak mempedulikanku, dia malah sudah bergeser ke sampingku dan mulai membuka kancing serta retsluiting celanaku. Sementara itu aku hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa melihat dan merasakan Tante Wulan mengelus penisku dari luar CD-ku.
Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Sesuatu yang baru pertama kali itu aku rasakan. Belum lagi aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi, aku mendapati penisku sudah menyembul keluar dan Tante Wulan sudah menggenggamnya sambil sesekali membelai-belainya. Setelah itu aku lebih sering memejamkan mata sambil sekali-kali melirik ke arah penisku yang sudah jadi mainan Tante Wulan.
Tak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan yang jauh lebih mencengangkan. Kepala penisku seperti masuk ke satu lubang yang hangat. Ketika aku melirik lagi, kudapati kepala penisku sudah masuk ke mulut Tante Wulan, sementara tangannya naik turun mengocok batang penisku. Aku hanya bisa terpejam sambil mendesis-desis keenakan. Beberapa menit kemudian aku merasakan seluruh tubuhku mulai mengejang. Aku merasakan Tante Wulan melepaskan penisku dari mulutnya, tapi mempercepat kocokan pada batang penisku.
“Sssshhhh.. creettt… creett… ” Sambil mendesis menikmati sensasi rasa yang luar biasa aku merasakan cairan hangat menyemprot sampai ke dadaku, cairan air mani ku sendiri.
“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar,” Tante Wulan berbisik di dekat telingaku. Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante Wulan, yang aku tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus penisku. “Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih tetep kenceng seperti akan menantang kembali. Melihat penisku yang masih menantang, Tante Wulan pun mengambil posisi di atasku. "Tantee...... Sssttt.. Tante mulai menuntun penisku untuk masuk ke vaginanya. Ternyata meskipun usia Tante Wulang sudah 35 tahun, ternyata vaginanya masih rapat. Terlihat betapa susah dia memasukkan penisku ke vaginanya. Beberapa kali mencoba akhirnya..bless....masuk juga seluruh penisku ke vagina Tante Wulan...
"Ooohhh...ssttt...aaahhh...uugghh... nak Rangga, penis kamu enakk... "racau Tante Wulan..
Aku juga enak tante... Tante Wulan pandai sekali bergoyang, aku menikmati setiap goyangannya, di tambah dengan vaginanya yang mengempot menyedot... "Beberapa menit kemudian,,,tubuh tante Wulang terlihat mengejang-ngejang..tanda dia sudah orgasme untuk pertama kali. "Kemudian,tante Wulan mengeluarkan penisku dari vaginanya dan meminta untuk berganti gaya. "Sini nak Rangga, gantian tante yang dibawah kamu yang di atas.."ii...iyaa tante.."dengan polos aku menjawab. Dituntun penisku untuk memasuki vaginanya.. blesss... satu sentakan dan penisku masuk semua kedalam lubang dimana temanku dilahirkan... Oohh....penismu enak banget nak Rangga.." Vagina tanteee jugaa enakk banget.... hangat.... sempit tante....".
Sodok lebih dalam lagi dong nak Rangga,"tampaknya tante menginginkan lebih". Baiklah..tantee.."
Kumasukkan lebih dalam lagi sampai menyentuh rahimnya, "oohhh..aaagghh...ssstt...enak...enakkk.."tante makin meracau tak karuan.
"aku menindihkan tanganku di sebelah tante Wulan dan mencium tante Wulan..
Dia langsung menyambut ciumanku, dan memainkan lidahnya di dalam mulutku...WOW! tante lebih lihay melakukan french kiss dibanding denganku..."aku sangat menikmati cumbuannya.
"aku sudah mau keluar tante..."kupercepat sodokanku...iyaahh.. tan..tee juga sudah mau keluar nak Rangga...eenngghh"
keluarin dimana tan...."di dalam ajah nakkk..tante ingin merasakan semprotan pejumu di rahim tante.. Ogghhh....oogghhh"..
"ku semprot pejuku di dalam vagina tante Wulann...aagghh..aahhh aku sampai tan..."
"creett.creett....tante juga nak,,,oohh pejumu hangattt.....rahim tante enakk....".
Bagaimana kalau nanti tante Wulan hamil?"tanyaku..
Gapapa..tante mnum pil KB kok,,"
"aku lega mendengarnya..." sejak saat it, aku makin sering berkunjung ke rumah Rendi, saat ada Rendi maupun tidak ada Rendi, kami tetap mencuri kesempatan untuk melakukan seks... tentunya saat Rendi tidur..
bahkan kita juga pernah menyewa hotel dan bermain semalaman.. memuaskan nafsu birahi kita masing-masing..

TAMAT~

0 komentar:

Posting Komentar